Memang betul kata orang, punya anak capek fisiknya itu biasanya yang ditahun-tahun pertama nya saja. Namun semakin anak beranjak besar yang biasanya bikin capek itu ya capek hati. Eh ini konotasinya bukan berarti capek hati ngadepin anak nakal. Cuman capek hati lebih ke betapa kita akan selalu mikirin kondisi anak 24/7. Dia mikirin apa, pendapat dia tentang kita, dia lagi hobi apa, teman-temannya baik apa tidak dan lain sebagain. Aku yakin semakin Aghnan beranjak besar list nya itu akan semakin banyak di aku. Tapi aku gak ngeluh ya, ini adalah tantangannya punya anak. Yang bilang jadi orang tua itu gampang, maaf ya, buat aku mungkin loe gak merasakan betapa besar tanggung jawab yang loe hadapin. Dan gak sekedar tanggung jawab duniawi aja. Dunia akhirat cuy.. Cuman berharap kalau amanah besar ini betul-betul bisa aku jaga dan didik sehingga bisa jadi orang yang baik hidup di dunia ini.
Pengennya sih ada buku petunjuk / SOP /parenting for dummies buat jadi orang tua. Cuman sayangnya gak ada. Memang banyak sekali teori parenting yang ada di dunia ini, cuman aku merasa gak bisa ditiru plek plekan dan diaplikasikan ke gaya mendidik aku ke Aghnan. Pastinya akan penuh trial dan error dan akan penuh kombinasi sana sini. Cuman satu hal yang aku selalu andalin dalam mendidik Aghnan. I trust my guts.
Feeling dan bonding seorang ibu ke anak gak akan pernah salah. Kayak ada ikatan tak terlihat antara aku dan Aghnan, dan somehow inilah yang jadi acuan aku dalam mendidik Aghnan. Seperti halnya menjaga semua hubungan yang ada di dunia ini, kunci suksesnya ya adalah komunikasi. Dan inilah yang menjadi sangat amat menantang berkomunikasi dengan anak yang belum lancar berbicara. Buat kita sih jauh lebih gampang, karena kita cenderung aktif berkomunikasi dengan anak. Cuman buat anak, bayangkan betapa frustasinya mereka untuk berkomunikasi dengan kita disaat dia sendiri belum bisa lancar berbicara. Mis komunikasi inilah yang sering sekali membuat konflik diantara kita dan anak.
Bohong banget kalau aku gak pernah kelepasan emosi menghadapi masa toddlerhood nya Aghnan. Apalagi kalau lagi dalam kondisi capek beraktivitas. Dan parahnya gw, sekeluarga itu tau kalau sabar is not my middle name. Hahaha jadi menantang banget memang melihat diriku sendiri sebagai seorang orang tua.
Tapi ya pastinya semua itu harus berusaha di perbaiki dan diredam. Terutama menghadapi polah si bocah yang makin hari makin kreatif dan menggemaskan. Hihihi.. Perlu ekstra sabar. Salah satu kuncinya ya selalu berkomunikasi dengan bahasa kita biasa. Walau dia masih kecil cuman aku selalu percaya kalau dia mengerti apa yang kita bicarakan. Jadi ya kalau ngobrol sama Aghnan ya kadang kayak ngobrol sama teman sendiri. Ini sih pengennya biar jika nanti sudah besar dia bisa cerita apa saja ke Bunda nya.
Kemudian, jangan pernah takut sama konflik. Disini yang aku merasa feeling sebagai ibu akan main sebagai tolak ukurnya. Konflik itu tidak selamanya jelek, namun harus ada closure yang jelas. Dan setiap konflik itu harus diselesaikan dan ada closure nya. Jangan dibiarkan mengambang karena pasti akan bingung si bocah. Hahaha langsung membayangkan kemaren harus pasang mental baja menghadapi si Aghnan yang sedang tantrum. Aku bilang “NO” langsung nangis jejeritan gak jelas. Konflik ye bok. Cuman gak aku tinggal. Aku tunggu sampai mereda atau biasanya aku alihkan, namun setelah reda baru aku nasihatin dia dengan jelasa kenapa begini kenapa begitunya. Biasanya sih adegannya Aghnan sambil nangis sesenggukan, menghampiri bundanya, bundanya dicium-cium dan abis itu di peluk. Dan biasanya disaat kita pelukan begitu, aku selalu minta maaf sama dia apalagi biasanya konflik yang terjadi karena kita gak bisa berkomunikasi dengan lancar. Terutama akunya yang gak bisa menangkap dengan tepat maunya dia apa. Lagipula, aku juga gak mau jadi orang tua yang gengsi minta maaf sama anaknya. Komunikasi harus dua arah dan pastinya ada timbal baliknya.
Kadang ini juga yang bikin bingung si mas. Kok ya bisa abis konflik heboh, begitu baikan aku sama Aghnan jadi lebih lengket dan lebih sayang-sayangan. Ya inilah yang aku bilang bahasa kasih. Bahasa kasih kita lebih erat setelah konflik.
Yang jelas perjalanan makin panjang. Aghnan 2 tahun aja belum. Di depan (dan sudah mulai terasa) akan menyambut kita fase “challenging two”. Doakan kami survive yaa. Perjalanannya bakal seru soalnya.
Menantang? Ya pastinya, cuman hidup kan membosankan tanpa tantangan 🙂
Mba, usia anak kita kurang lebih sama, and yes, bahasa kasih itu powerful, kalo diilustrasikan berasa ada spotlight besar yang cuma nyorot aku dan si kecil ketika kita berdua cuddling pas abis konflik *lebay* hihihih.
hahaha iyaa persis.. persis.. *sesamalebay* 😆
Anggiiii… anakku baru 10 bulan tapi juga tau kapan gak boleh dan kapan boleh.
Paling sedih kalo abis ditegur terus dia tau kalo dia salah, abis itu dalam pelukan dia tersedusedu terus sambil melukin gw.. Abis itu maunya nempelnempeeeeeel terus.. Rasanya meleleeeeeeeh banget..
Semoga kita bisa jadi penuntun yang baik yah buat langkahlangkahnya anakanak kita.. Amin.
iya yaaa rasanya jadi melting2 gimanaa kalau anak merajuk ke kita.. 🙂 Amiin amiin amiin doanya.. .. 🙂
terharu banget baca tulisan mbak Anggi. aku pengen jadi kayak mbak Anggi deh,,,
soal “Sabar is not my middle name” tosssss!! bener yak, kalo abis ‘berantem’ ama anak, abis itu jadi muakiiinnnn mesra heheehe, apa ini artinya harus sering berantem??? hahahahahaa…