Cita-cita

Salah satu film yang kita tonton pas wiken adalah How to Lose Friends and Alienate People. Secara isi emang so-so, meskipun cukup menghibur, tapi ada satu hal yang menggelitik bagi saya. Karakter utamanya sejak kecil sudah menggemari film, terutama karena ibunya adalah seorang aktris, dan akhirnya setelah dewasa dia menjadi seorang jurnalis yang khusus membahas tentang film dan selebritis di sekitarnya. Pasti ingat dunk, banyak orang sukses, seperti penyanyi, yang sejak dini sudah mengejar hal yang menjadi keinginan dan impiannya.

Saya, di sisi lain, bukanlah orang yang termasuk golongan di atas. Saya menyadari bahwa saya tidak punya bakat, terutama dalam hal seni, dan satu-satunya yang bisa sedikit dibanggakan adalah sedikit pengetahuan yang saya miliki karena memang saya senang sekali membaca–segala hal. Waktu TK, saya ingat di ulang tahun ke-5 yang dirayakan di kelas, saya bilang ke guru kalau cita-citanya ingin menjadi Pilot. Berikutnya saat SD, saya inginnya menjadi Dokter. Ya dua hal itu kayaknya standar banget ya untuk anak-anak cowok.

Di SMA, saya mulai menggemari komputer dan akhirnya berkeinginan untuk meneruskan studi di bidang ini. Saat kelas 3, di sebuah sesi kelas Bahasa Indonesia dengan topik “jurusan setelah SMA”, saya dengan pede menyatakan bahwa saya ingin jadi ahli komputer. Memang pada akhirnya saya (dan kebetulan juga wifey) memiliki gelar Sarjana di bidang ini. Alih-alih menjadi programmer, rasanya saya kok udah lost appetite dengan yang namanya programming. Saya senang segala sesuatu teknologi yang berhubungan dengan komputer (dan tentunya gadget), tapi saya pribadi merasa passion saya bukanlah yang berhubungan dengan coding, scripting, database, ataupun serumpunnya.

Salah satu hal yang mencerahkan–meskipun belum sepenuhnya tercerahkan–adalah acara Career Coach di Hard Rock FM. Dengan narasumber Rene Suhardono, acara ini menekankan bahwa untuk mencapai kebahagiaan dalam pekerjaan, kita harus mencari tahu apa passion kita. Jika kita bekerja sesuai dengan passion pribadi, pastinya hasil yang diberikan akan optimal. Sayangnya, pencarian passion itu belum tentu semudah yang dibayangkan. Tapi bukan berarti tidak bisa ditemukan!

Rene pribadi menyatakan dia baru menemukannya setelah 9 tahun bekerja, sementara Ligwina Hananto–pengasuh Financial Clinic–baru merasakan yang pas setelah 5-6 tahun. Pencarian yang panjang bukan? Rene sendiri pernah bekerja di bidang perbankan, dan superior-nya terang-terangan menyatakan karirnya akan segitu-segitu saja. Ternyata dia berani banting setir untuk bekerja sebagai Konsultan HRD/Head Hunter dan belakangan menancapkan kuku sebagai pengusaha bidang makanan dan minuman.

Tentunya sebagian besar dari Anda tidak akan bercita-cita jadi peternak bebek misalnya. Tapi bisa jadi itu merupakan hal yang Anda gemari dan betah lakukan berjam-jam setelah dewasa. Ingat lho, bisnis peternakan atau agribisnis sebenarnya prospeknya sangat bagus. Atau juga ternyata jika Anda demennya mencari jajanan baru. Siapa tahu profesi kuliner cocok dan sejalan dengan hobi kita. Tentunya kita tahu bahwa dalam pencarian passion–yang tidak cepat ini–kita dihadapkan pada hal klasik, bills to pay.

Saya pribadi, sampai sekarang masih belum merasa nyaman dengan karir saya–ingat ungkapan Rene, your career is not your job, bisa jadi gelar S1 Anda tidak lagi berguna untuk menopang karir Anda. Mungkin saya pernah melakukan kesalahan pilihan di masa lalu, tapi pencarian passion saya tidak boleh berhenti. Salah satu passion yang saya temukan sekarang adalah penulisan dan perencanaan keuangan, tentunya dengan tidak mengenyampingkan probabilitas untuk menciptakan kewirausahaan–ini harus nampaknya 😛 .

Meskipun demikian, saya masih menelaah lebih lanjut apakah saya benar-benar cocok di bidang-bidang tersebut. Apakah pembaca benar-benar sudah merasa menemukan passion masing-masing? Jika iya, selamat! Do your best and be a rockstar! Jika belum, jangan lelah mencari. Suatu saat passion itu akan ditemukan dan tentunya akan sangat nyaman untuk dijalani.

[thumbnail image]