Workshop Hypnoparenting Part 3: Positive Parenting

..lanjutan dari part 2 Hypnoparenting..

Tadinya kan mau cerita soal temper tantrum di part 3 ini. Namun kayanya lebih baik cerita soal positive parenting (pola pengasuhan positif) yang di share sama mbak Eva ya. Jika kita ingin menerapkan pola pengasuhan positif, kitanya sendiri harus bisa melatih ketenangan dan kesabaran, kemudian kita harus bisa menomorsatukan pola pikiran yang positif dan baik sebelum mengasuh anak.

Beberapa poin penting untuk pola pengasuhan positif pada anak sebagai berikut:

1. Anak adalah manusia kecil.

Perlakukan anak seperti orang dewasa walaupun dia belum besar, namun banyak hal yang sebenarnya ia telah mengerti dan dapat diperlakukan sama seperti orang dewasa.

Contohnya:

  • Selalu berikan ia pilihan agar ia tidak merasa selalu diperintah. Tapi tentunya sebagai orang tua kita bisa mengajarkan dan mengarahkan mana pilihan yang lebih baik dan penting.
  • Biarkan dia mandiri walau beberapa hal tentunya dipermudah. Terutama dalam hal-hal kecil seperti mandi, sikat gigi, ganti sepatu, ganti baju
  • Selalu menjawab pertanyaan anak dengan jawaban yang benar sebisa mungkin. Pokoknya jangan sampai membohongi anak, karena jika suatu saat anak mengetahui kebohongan itu, dapat mengurangi rasa percaya anak kepada orang tua.
  • Hindari jawaban “Tidak Tahu” karena hal ini dapat memicu perasaan malas pada anak untuk bertanya lagi kepada orang tua nya. Mintalah dia menunggu selagi kita mencari jawaban atas pertanyaannya.
  • Jelas konsep sebab akibat. Udah gak jaman lagi ya menurut aku model orang tua yang otoriter yang modelnya pokoknya semua omongan mereka benar dan tidak bisa di debat sama orang tuanya. Hal ini selain membuat anak tidak bisa berpikir dengan logika juga membuat anak merasa tidak bebas dan bisa menjauhi orang tuanya. Ajarkan konsep sebab akibat ini, dan insyaAllah akan membuat anak lebih mudah mengerti dan lebih mudah meminta dia melakukan sesuatu jika sudah mendapatkan pengertian dari dia.
  • Jangan mengulangi nasehat yang sama.
    2. Kenali Anak dengan baik.

    Terutama tipe belajarnya. Tiap manusia mempunyai tipe belajarnya masing-masing. Ada yang Visual, Auditif ataupun Kinestetik. Ketiga faktor ini selalu ada dalam tiap manusia, namun dengan presentase yang berbeda-beda. Bagaimana cara membedakan anak kita anak Visual, Auditif ataupun Kinestetik?

    Ciri Anak Visual:

    Suka baca dan melukis. Kalau sedang mikir selalu lihat keatas. Mudah menangis atau marah, ekspresif sekali. Belajar melalui pengamatan dan peragaan. Mudah untuk belajar membaca karena cepat mengenali huruf. Membuat anak visual cepat belajar membaca bisa dengan menggunakan metode flash card. Soalnya anak visual akan cepat menyerap dengan metode flash card ini.

    Memiliki imajinasi yang kuat dengan melihat detil dari gambar yang ada. Untuk komunikasi cenderung tenang dan tidak banyak bicara panjang dan suka sekali mengamati sesuatu. Respon terhadap seni, mempunyai apresiasi terhadap seni apa saja yang dilihatnya secara mendalam dengan detil dan komponen.

    Aktifitas yang disukai biasanya menggambar.

    Ciri Anak Auditif:

    Anak Auditif mudah belajar melalui instruksi dari orang lain. Kalau sedang mikir lihat kiri kanan. Akan mudah belajar baca menggunakan pendekatan melalui bunyi kata. Jadi jika ada flash card, kita ejakan huruf di flash card itu satu-satu maka akan cepat masuk ke dia. Mudah mengingat jika dilakukan pengulangan berkali-kali. Tidak mengutamakan detil, lebih berpikir mengandalkan pendengaran.

    Suka berteriak jika bahagia, mudah meledak tapi cepat reda, emosi tergambar jelas melalui perubahan besarnya nada suara, dan tinggi rendahnya nada. Senang mendengar dan cenderung repetitif dalam menjelaskan. Dan suka musik.

    Aktifitas yang disukai biasanya bermain musik.

    Ciri Anak Kinestetik:

    Anak Kinestetik akan mudah belajar jika melakukan sesuatu secara langsung. Kalau sedang mikir lihat ke bawah. Metode flash card akan susah diterapkan untuk anak kinestetik. Lebih mudah mengingat apa yang sudah dilakukan, daripada apa yang baru saja dilihat atau dikatakan. Kurang imajinatif, karena lebih mengutamakan tindakan/kegiatan.

    Suka melompat-lompat kalau gembira, memeluk, menepuk, dan gerakan tubuh keseluruhan sebagai luapan emosi. Kalau berkomunikasi suka menggunakan gerakan kalau bicara namun kurang mampu menjadi pendengar yang baik.

    Aktifitas yang disukai biasanya kegiatan yang banyak gerak.

    Nah, pada saat workshop mbak Eva menceritakan, untuk bisa mengasuh anak kita sesuai tipe belajarnya, kita sendiri sebagai orang tua harus mengetahui tipe belajarnya kita dahulu. Kayak aku dan mas ternyata memiliki tipe belajar yang beda banget. Mas itu 50% dominan Visual. Sedang aku 50% dominan Auditif.

    Dari situ aku baru mudeng. Panteees si mas itu kalau aku kasih instruksi melalui omongan suka cepat lupa. Beda banget sama aku kalau di kasih instruksi melalui omongan langsung mudeng banget. Tipe orang Visual cocok kalau dikasih check list. Lebih masuk ke mereka. Nah kalau ternyata Aghnan ikutan Visual kayak bapaknya, gak bisa tuh aku main kasih instruksi melalui percakapan yang panjang. Bisa gak ngerti-ngerti πŸ™‚ Untuung banget sudah belajar ini di awal. Tau karakter anak kita dahulu baru kita bisa mengasuh dia dengan perlakuan yang tepat πŸ™‚

    3. Ucapan orang tua adalah “doa”

    Untuk itu selalu gunakan kata-kata positif dan afirmasi efektif dalam mengasuh anak. Jangalah men cap anak kita dengan label ‘nakal‘,’bandel‘,’susah diatur‘. Jika anak kita mendengar takutnya hal itu akan menjadi sugesti yang berlanjut kepada anak itu. Β Hindari penggunaaan tidak-jangan-bukan.

    4. Hindari timbulnya konflik diri pada anak

    Janganlah menggunakan kalimat-kalimat yang bertentangan sehingga menimbulkan pertanyaan pada anak yang pada akhirnya bisa membuat anak menyangsikan banyak hal. Seperti bisalnya

    Aduuuh.. Bagus banget ya anak Bunda, semuanya diberantakin. Pinter deeh. Terus aja semuanya di acak-acak biar tambah berantakan, baguuus bangeet..

    5. Menjadi Role Model bagi anak kita

    Anak itu adalah mesin foto copy yang sempurna. Untuk itu kita harus menjadi role model serta guru yang baik kepada merka karena anak itu akan mencontoh semua yang dilakukan oleh kita karena mereka menganggap kita sebagai panutan. Untuk itu kita harus memberikan teladan yang baik melalui contoh yang langsung. Kemudian jika ada perbedaan kondisi (misalnya: jam malam orang tua dan anak berbeda) kita harus menjelaskannya dengan konsep sebab-akibat sehingga dapat dimengerti oleh anak kita. Dan kita harus selalu menepati janji kepada anak kita, agar mereka dapat mengerti pentingnya arti sebuah janji πŸ™‚

    6. Hindari High Expectation

    Kita harus belajar menerima anak kita apa adanya, karena kita mencintai dia walaupuan dia memiliki banyak kelemahan, bukan karena dia memiliki banyak kelebihan πŸ™‚ Kita harus menjadi suporter nomor satu untuk anak kita. Belajarlah yang terbaik buat kita bukan berarti yang terbaik untuk anak kita. Coba belajar meletakkan standar yang wajar dan tidak perlu menuntut berlebihan.

    Dan yang pentiing banget coba tolong digaris bawahi dan distabiloin kalau bisa ya: hindari membandingkan anak kita dengan anak lain. Tujuannya sih bagus untuk memotivasi, tapi hasilnya tidak bagus jika caranya seperti itu. Jika ia dapat mengalahkan orang lain akan membuat dirinya sombong. Dan jika ia tidak bisa mengalahkan orang lain akan membuat dia menjadi tidak percaya diri dan merasa lemah.

    Jalan keluar yang terbaik adalah bandingkan dia dengan prestasinya sendiri. Mbak Eva pun menegaskan, apapun hasil yang sudah dibuat anak kita semampu dia, yang harus dilakukan pertama oleh kita adalah puji lah dia dengan tulus. Baru semangati dia agar dia bisa lebih baik dibanding prestasi yang sekarang. πŸ™‚

    7. Jadilah Orang Tua yang Konsisten

    Aturan-aturan yang kita terapkan dalam kehidupan mereka kan bertujuan untuk mendisiplinkan mereka. Buatlah metode punishment consequences and reward buat mereka agar menaati aturan yang sudah kita terapkan. Kreatif lah dalam menerapkan metode ini πŸ™‚

    8. Boleh Marah dengan syarat:

  • Alasan marah sudah tepat dan bukan karena pelampiasan emosi kita. Anak kita bukan tong sampah emosi kita ya..
  • Marah dengan porsi yang sesuai. Misalnya, jangan marah meledak-ledak untuk hal yang sepele.
  • Hindari hukuman fisik. Hukuman fisik hanya akan membuat anak takut dan tidak menghormati kita sebagai orang tua.
  • Marahi perbuatannya, bukan anaknya. Tunjukan bahwa kita tidak menyukai perbuatannya yang tidak baik.
  • Hindari memarahi anak disaat anak sedang temper tantrum. Hal ini tidak akan menyelesaikan masalah namun akan memperparah masalah.