Tantangan Mendidik Anak di Era Digital

Ini sebenarnya post utang, soalnya acaranya emang sudah seminggu yang lalu. Jadi ceritanya Sabtu yang lalu saya ikutan acara Tantangan Mendidik Anak di Era Digital yang diadakan oleh Supermoms Indonesia dengan pembicara utama Ibu Elly Risman. Banyak saya lihat muka-muka familiar di sana dan Supermoms Indonesia dan Mommies Daily kalau tidak salah sudah melakukan live tweeting untuk acara tersebut. Jadi yang tersisa sekarang adalah poin-poin penting yang ingin saya bahas dan analisis sebagai seorang orang tua yang terus-menerus belajar ilmu parenting.

Pertama saya setuju dengan Ibu Elly bahwa Tantangan Mendidik Anak di Era Digital jauh berbeda dengan jaman kita masih kecil dulu. Waktu kita kecil, waktu bermain dua jam mungkin biasa melakukan permainan bersama teman di lapangan dekat rumah, bermain sepeda atau ya paling “parah” ya main Nintendo di rumah. “Kekerasan” yang mewarnai games itu (baik game yang berantem maupun perang-perangan) SAMA SEKALI tidak membuat saya jadi berpikir aneh-aneh, entah itu ingin meniru atau melawan orang tua. Ini bukan berarti malas ya soalnya toh dengan bermain gak pernah tuh kena marah sama guru karena tidak mengerjakan PR.

Jaman sekarang, mendidik anak Generasi Z (atau mungkin generasi berikutnya yang entah apa namanya) bagi kita yang kebanyakan merupakan Generasi Y pasti tidak jauh dari kegiatan yang berhubungan dengan Internet. Lapangan bermain semakin sedikit, playground kebanyakan cuma ada di mall, ketersediaan konektivitas di mana-mana membuat kita cenderung memberikan solusi mudah bagi anak kita. Well, perangkat tablet merupakan salah satu tersangka utamanya. Malas menghadapi anak yang rewel dan banyak tanya, akhirnya mereka kita sumpal dengan perangkat yang terkoneksi dengan Internet.

MEDIA DAN KONTROL

Nah, Ibu Elly menyebutkan bahwa media utama yang menjadi “problem” jika tidak dikontrol saat ini adalah: Internet, Permainan (Games), TV/VCD/DVD/Film Bioskop dan Komik. Ibu Elly juga menjembrengkan bermacam bukti nyata tentang akibat pengaksesan materi-materi tersebut kepada anak di bawah umur, ya dari hamil di luar nikah, kekerasan oleh pelajar, prostitusi di bawah umur, dll. Saya jadi memahami kenapa Ibu Elly and the gang begitu ngotot supaya UU Pornografi disahkan. Masalah pornografi bukan untuk kita-kita yang memang sudah cukup umur dan mengerti, melainkan untuk mereka yang belum cukup umur dan belum memiliki pemahaman yang matang soal ini.

Berita-berita yang disampaikan oleh Ibu Elly bisa memberikan dua reaksi bagi kita orang tua. Reaksi pertama adalah waspada, sementara reaksi kedua adalah paranoid. Tentu saja harapannya adalah kita menjadi waspada, tapi saya cenderung takut kalau reaksi kebanyakan orang — apalagi yang tidak well-informed dan cenderung gampang panik — adalah PARANOID. Kalau sudah paranoid, segala sesuatu pasti bakal dianggap salah dan menjadi sumber masalah.

Padahal kalau kita telaah matang-matang, issue utama di sini buat saya bukan di medianya. Analisis saya, issue yang paling utama adalah KONTROL terhadap akses ke media tersebut. Mengajak anak kecil nonton film aksi/drama dengan Rating Dewasa/17+ bukanlah langkah bijak dalam kegiatan parenting. Pembiaran anak untuk membaca, bermain, menonton hal-hal yang dia belum pahami bisa berakibat pada kesalahan yang fatal.

Yang terakhir dan paling penting, orang tua harus mengerti tentang teknologi itu sendiri supaya tahu cara mengontrolnya. Dosa besar jika orang tua jaman sekarang tidak mengerti teknologi dan mudah dibohongi oleh anaknya yang adaptif terhadap teknologi mutakhir.

Kontrol adalah langkah preventif sebelum semuanya menjadi masalah.

BAGAIMANA ANAK KITA BISA TERKENA MASALAH?

Saya menggaris bawahi dua hal yang menjadi sumber masalah.

Hal yang pertama adalah faktor kelelahan. Anak kita jika diajari baca-tulis-hitung sejak sebelum SD kemudian begitu masuk SD harus les ini-itu membuat mereka sudah merasa kelelahan kita mencapai masa mendekati lulus SD. Banyak problem yang saya baca  tentang prodigy yang ketika kecil begitu hebat dengan IQ tinggi tapi ternyata setelah dewasa gagal membawa dampak bagi masyarakat. Mereka kehabisan bahan bakar. Anak kita juga bisa seperti itu, kelelahan hingga akhirnya mencari pelarian.

Di kelas enam SD ketika kita berpikir bahwa fokus utama mereka adalah belajar untuk lulus ujian, buat mereka hal yang menarik hanyalah ngerumpi dengan teman dan tentu saja mengejar status pacaran (misalnya taken). Percaya kalau pergaulan anak SD seperti itu?

Skema sistematis yang dikutip oleh Ibu Elly Risman tentang ini adalah BLAST — Boring, Lonely, Angry/Afraid, Stress, Tired. Kalau anak kita mengalami BLAST karena kurangnya ruang gerak positif, siapa yang salah? Saya ingat “mantra” yang diucapkan Pak Toge Aprilianto soal anak. Anak tahunya mencari hal yang enak. Sekarang mana yang “enak” menurut mereka, belajar atau bermain/pacaran?

Hal yang kedua dan ini menjadi semakin penting di era digital adalah faktor Ayah. Wow, kita mungkin bertanya-tanya mengapa. Ternyata studi ilmiah yang telah dilakukan (tesis Ibu Diah Karim) menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan tanpa Ayah rentan mengalami masalah saat kanak-kanak atau remaja. Ini juga berlaku buat Ayah yang meskipun ada, tapi lebih sibuk mencari nafkah sehingga “serasa tiada” bagi anak. Tanpa kehadiran Ayah dan kurangnya peran Ayah dalam parenting, anak-anak menjadi kurang terkontrol.

Bagi anak laki-laki, kurangnya peranan ayah membuatnya menjadi nakal, agresif, mengarah ke penggunaan narkotika dan obat-obatan, serta kegiatan seks bebas. Sementara bagi anak perempuan, akibatnya depresi dan kegiatan seks bebas. Kurangnya faktor maskulin dalam keluarga tentu juga bisa mendorong banyak anak laki-laki yang memiliki orientasi seksual menyimpang (I am not against gay, but it’s a logic reason). Ini peringatan buat saya sendiri dan ayah-ayah di luar sana bahwa kita memiliki peranan sangat penting untuk masa depan anak tercinta kita.

PENYELESAIAN

Ada sejumlah langkah yang dikemukakan oleh Ibu Elly jika anak kita terkena dampak dari permasalahan ini. Hal yang pertama tentu saja harus mencari tahu akar penyebabnya. Berikutnya adalah pendampingan dan kerjasama dari orang tua untuk menyelesaikannya. Dan yang terakhir adalah menyepakati langkah/strategi (antara ayah dan ibu) supaya anak mampu melaluinya.

Berikut adalah langkah-langkah menjadi terapis bagi anak:

— Tenang!

— Hindari marah dan panik

— Terima: Maafkan, Minta Ampunkan & Bermusyawarah

— Perbaiki pola pengasuhan

Satu hal yang pasti, saya sepakat dengan Ibu Elly bahwa saat dalam proses ini, kita harus tetap memuliakan anak apalagi di depan temannya atau orang lain. Jangan sampai harga dirinya dijatuhkan di depan teman-temannya.

PENUTUP

Ada banyak hal yang tidak saya cantumkan di sini karena materinya memang banyak, tapi ada dua hal penting menurut saya yang membantu menaklukan tantangan pendidikan di era digital. Hal pertama adalah KUASAI TEKNOLOGINYA, karena gaptek sesungguhnya adalah “dosa besar”. Hal kedua adalah KONTROL segala media dan konten yang diakses oleh anak kita karena pemerintah Indonesia dan perusahaan media tak mampu melakukannya. Kalau bukan kita yang melakukannya, siapa lagi?

6 thoughts on “Tantangan Mendidik Anak di Era Digital

  1. arie says:

    asw. mba anggi dan mas-nya…Jazakumullah khairan katsiran yah buat sharingnya.. merinding..sekaligus jadi tambah melek biar makin siap dalam mendidik dan melindungi anak2 sebagai generasi penerus..

    *do’ain ya mba biar bisa ikutin jejak mba anggi bisa dapet beasiswa S2..aamiin.. 🙂

Comments are closed.