Ada Apa dengan Identitas Asli di Dunia Maya?

Internet. Suatu sarana masif untuk mendapatkan informasi. Sesuatu yang bahkan membuat koran pagi terlihat menjadi basi. Internet — terutama di masa Web 2.0 saat ini — memberikan kebebasan bagi kita untuk mengungkapkan opini, selayaknya pakar, pengamat, ataupun jurnalis. Kita adalah diri kita sendiri, yang mempunyai pendapat dan ingin didengar dan dihargai.

Sayang sekali, di masa kebebasan “tidak terbatas” seperti saat ini, banyak sekali orang yang TIDAK BERTANGGUNG JAWAB dengan mudahnya memberikan komentar-komentar dengan nada negatif terhadap segala hal. Anda tentu paham benar maksud saya. Di setiap berita detikcom misalnya, kita bisa menemukan ratusan — bahkan ribuan — komentar anonim dengan sesuka hati mencaci maki siapapun itu. Entah sirik atau tak mampu, caci maki sepertinya merupakan suatu bentuk pelampiasan ketidakintelekan suatu pendapat.

Sudah banyak blog-blog ternama yang berusaha untuk mengedukasi masyarakat bahwa bebas bukan berarti tidak bertanggung jawab. Pepih Nugraha misalnya, seorang jurnalis Kompas yang cukup dikenal, akhirnya memutuskan untuk tidak meng-approve suatu komentar tanpa identitas yang jelas. Identitas jelas ini bisa berupa nama asli, alamat email asli, ataupun yang sekarang cenderung menjadi KTP global — akun Facebook.

Saya perhatikan dengan seksama, komentar tanpa identitas asli di dunia maya selalu berujung pada komentar satir bin tidak berpendidikan bin tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ini merupakan ekses suatu kebebasan yang bagai pisau bermata dua. Anda jika mengirim surat pembaca di Kompas saja harus menyertakan fotokopi identitas yang jelas supaya bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya, kok ini memberikan suatu pendapat tapi malu memberikan informasi asli Anda.

Ingat, jika di dunia nyata ada namanya sopan santun, di dunia maya juga ada namanya netiket. Netiket, berasal dari istilah bahasa Inggris — Netiquette — merupakan kumpulan norma-norma untuk mengatur keselarasan berselancar di ranah maya. Internet bukanlah milik pribadi maupun perseorangan, melainkan milik kita semua. Mengenai netiket ini tentu bisa Anda dapat keterangan lebih lanjut melalui mesin pencari.

Sebagai bagian dari gerakan edukasi netiket, sejak awal kami memutuskan untuk tidak meng-approve suatu komentar tanpa identitas nama dan email yang jelas, bahkan mengkategorikannya sebagai spam. Apalagi jika kami tidak mengenal secara langsung pihak yang bersangkutan. Gunakanlah fitur Facebook Connect jika Anda malas mengisi Nama dan Email yang jelas. Tentunya setelah itu Anda bisa melanjutkannya dengan memberikan komentar yang elegan, bagaimanapun posisi Anda terhadap suatu post, baik pro maupun kontra. Mari kita tingkatkan kesadaran berinteraksi dalam ranah maya Internet yang baik dan benar ๐Ÿ™‚

[thumbnail image]

Saya Siap!

anggi karimuddin

Mungkin itu kata-kata yang tersirat dari foto di atas. Istriku tercinta berfoto di Terminal 2E CGK sebelum keberangkatan ke Singapura tadi pagi. Menggunakan jaket seragam, tim Bank Indonesia bertolak ke Singapura dalam rangka “gathering olahraga persahabatan” antar beberapa negara Asia Tenggara. Tentunya semua sudah tahu cerita lengkapnya tentang ini di post-post sebelumnya. Istri kebetulan mewakili dalam cabang pertandingan scrabble. Caiyo ayang, make us proud! ๐Ÿ˜‰

Oh ya, dia baru balik ke Jakarta hari Senin mendatang. So, sendirian lagi deh di kamar ๐Ÿ˜€

Asuransi vs Investasi

Ada pembaca kita yang bertanya soal asuransi dan investasi. Kedua hal ini sebenarnya buat saya adalah dua spesies yang berbeda. Investasi sebagai kita tahu adalah cara mem-preserve keuangan kita untuk lebih tinggi dari inflasi dan mencapai suatu tujuan finansial tertentu, misalnya dana pensiun, dana beli rumah, dana liburan, dana pendidikan, dll. Asuransi di sisi lain adalah suatu teknik “sedia payung sebelum hujan” untuk KESEHATAN kita dan (sebagian) kesehatan finansial kita dan keluarga.

Di sini saya coba bahas tentang asuransi. Kenapa kita perlu asuransi? Kita perlu payung jika sewaktu-waktu hujan, payung dapat digunakan untuk melindungi kita. Kalau tidak ada hujan? Gak apa-apa juga punya payung, hari ini tidak hujan bukan berarti besok pasti tidak hujan juga kan? Itu gambaran umumnya. Saya sebenarnya cukup awam dengan detil asuransi, jadi lebih baik dibahas dari pandangan awam juga. Asuransi secara besaran dibagi menjadi dua, asuransi jiwa dan asuransi kesehatan. Karena pasti sudah pada tahu artinya, kita skip langsung ke bagian kapan seharusnya kita apply kedua asuransi tersebut.

Asuransi Jiwa

Asuransi jiwa sebaiknya di-apply jika hidup keluarga bergantung pada kepala keluarga misalnya. Jikalau ayah yang membiayai hidup keluarga tiba-tiba dipanggil olehNya, keluarga tentu juga tiba-tiba tidak memiliki stream income yang biasa dinikmati. Asuransi jiwa ini berguna untuk meng-cover biaya hidup keluarga yang ditinggalkan.

Jadi misalnya biaya pertanggungan/santunan adalah IDR 100 juta, maka jika kepala keluarga passed away, duit 100 juta itu yang digunakan untuk membiayai hidup keluarga, sampai misalnya ibu mencari stream income baru. Kapan tidak perlu memiliki asuransi jiwa? Jika Anda masih single dan tidak ada tanggungan yang secara finansial “kehilangan” (misalnya orang tua) jika tidak ada stream income yang dihasilkan oleh Anda.

Asuransi Kesehatan

Berikutnya adalah asuransi kesehatan. Kebanyakan dari Anda yang menjadi pegawai tentunya sudah memperoleh jaminan asuransi kesehatan. Meskipun demikian harus Anda telaah dalam-dalam hal apa yang di-cover dan yang tidak. Jangan sampai Anda over-confident bahwa semua penyakit bakal di-cover oleh asuransi kesehatan tempat Anda bekerja. Bisa saja ternyata hal-hal tertentu sama sekali tidak tercantum di klausul asuransi kesehatan kantor. Silakan cek dan ricek lagi. Juga pastikan berapakah besaran rawat inap per malamnya yang ditanggung.

Sebagai contoh, ada asuransi kesehatan yang meng-cover biaya rawat inap IDR 400 ribu per malam. Ini kira-kira setaraf kamar kelas dua di RS ternama. Jika Anda ingin mendapatkan perawatan di kelas yang lebih tinggi, Anda bisa menyiasati dengan memiliki asuransi kesehatan dari 3rd party yang bisa menambah kekurangan (jika ada) reimburse biaya perawatan sakit Anda (dan/atau keluarga). Ingat sebagai tambahan, bukan sebagai sarana cari untung dengan me-reimburse ke kantor dan 3rd party sekaligus.

Asuransi Kesehatan Setelah Pensiun?

Nah, yang seharusnya jadi masalah adalah jika pensiun bagaimana? Biasanya kebanyakan kantor hanya meng-cover selama Anda bekerja di perusahaan tersebut. Jika sudah berumur 55 tahun dan pensiun, perusahaan mempersilahkan Anda untuk membiayai urusan kesehatan sendiri, padahal justru kebanyakan penyakit mulai menyerang setelah usia pensiun.

Ligwina Hananto mengkonfirmasi bahwa di Indonesia saat ini belum ada asuransi yang meng-cover mulai masa pensiun ini (di luar sepertinya ada, belum cek sih). Kebanyakan sih harus dimulai dari sekarang, meskipun belum tentu sekarang butuh (ingat dua perlindungan itu terlalu berlebihan jika coverage dari kantor sudah lebih dari cukup). Jadi sekarang cara mempersiapkannya adalah.. dengan membuat investasi dana kesehatan ๐Ÿ˜€ buatlah perencanaan dana kesehatan di masa pensiun sebagaimana persiapan dana pensiun. Jangan salah, jangan ambil dana pensiun untuk dana kesehatan! Kalau dana pensiun diambil salah satu, gimana pasangan kita mau menghidupi diri kalau begitu?

Unit link?

Bagaimana dengan unit link?? Hampir semua perencana keuangan independen — artinya tidak ada afiliasi dengan produk tertentu — tidak menyarankan produk seperti ini. Mengapa? selain tujuan awalnya berbeda, dua spesies dalam satu produk tentunya tidak memudahkan kita mengatur porsi besaran mana alokasi asuransi dan mana alokasi investasi. Jangan sampai ternyata alokasi investasi Anda malah tersedot untuk asuransi. Saya pribadi tetap menyarankan untuk memisahkan di antara dua produk ini. Silakan pilih investasi dan pilih asuransi, jangan pilih asuransi+investasi. Percayalah akan lebih enak mengaturnya jika dipisah seperti itu ๐Ÿ™‚

Update: salah satu tulisan Ligwina Hananto menyebutkan sejumlah alasan kenapa unit link itu tidak direkomendasikan. Kesimpulan saya, dua spesies dalam satu produk artinya benefitnya tidak optimal, baik dari sisi asuransi maupun dari sisi investasi.

[thumbnail image]

Perlu Investasi Pendidikan?

Ini merupakan kelanjutan pembahasan tentang biaya pendidikan anak. Sebelumnya istri telah memberikan suatu buzz yang cukup mengena di hati para pembaca sekalian. IDR 1.5M untuk biaya kuliah anak?? Well, bisa jadi 20 tahun lagi angka segitu bukanlah angka yang cukup bombastis. Sebagai ilustrasi yang paling gampang, saya akan bandingkan biaya kuliah secara total (dan nyata) di sebuah Universitas Negeri di Depok tahun 2001 dan tahun 2008.

Tahun 2001 (hingga lulus 2005)
Uang pangkal (admission fee) IDR 0 (sukarela) ยป pukul rata jadi IDR 5 juta
Biaya per semester (tuition fee) IDR 1.5 juta x 8 = IDR 12 juta
Biaya hidup (living cost, termasuk di dalamnya uang kos, makan, buku, dll) IDR 1 juta x 12 x 4 = IDR 48 juta
Total 65 juta

Tahun 2008 (hingga lulus 2012)
Uang pangkal (admission fee) IDR 25 juta
Biaya per semester (tuition fee) IDR 7.5 juta x 8 = IDR 60 juta
Biaya hidup (living cost, termasuk di dalamnya uang kos, makan, buku, dll) IDR 1.5 juta x 12 x 4 = IDR 72 juta
Total 157 juta

Dari tahun 2001 ke 2008, kenaikan biaya secara total adalah hampir 100 juta atau hampir 2.5 kali lipat. Tahukah Anda bahwa selama 7 tahun, jikalau dipukul rata dengan asumsi inflasi 10% tahun, nilai IDR 65 juta tahun 2001 itu seharusnya “hanya” setara dengan IDR 126 jutaan saja di tahun 2008? Artinya jika kita memasukkan dana di deposito IDR 65 juta dan mendapat bunga 10% per tahun pun tidak akan mampu membayar secara total biaya total kuliah anak kita!

Bagaimana nasib anak kita saat masuk kuliah 18 tahun atau 20 tahun lagi?? Kita tidak tahu apakah mungkin akan terjadi krisis ekonomi global 10 tahun lagi atau mungkin ada krisis minyak 15 tahun lagi yang mungkin memicu lonjakan inflasi, jadi harus bagaimana?

Menurut panutan kita, Ligwina Hananto dari QMFinancial — yang juga sebenarnya sudah ada di bundel Femina beberapa waktu lalu — tidak ada jalan lain selain berinvestasi untuk buah hati kita. Jika kita mulai dari sekarang — misalnya saat anak Anda baru lahir, semua dananya bisa dimasukkan ke Reksadana Saham. Setelah 5 tahun, silakan pisahkan dana untuk masuk SD ke Reksadana Pasar Uang (atau Reksadana Pendapatan Tetap) dan begitu selanjutnya hingga 15 tahun ketika anak sudah hampir memasuki masa kuliah.

Okay, jadi sebenarnya 18 tahun lagi sebenarnya berapa kira-kira biaya kuliah anak secara total? Dengan asumsi kenaikan 10% per tahun dan basis kita sekarang biaya kuliah total adalah IDR 157 juta, kita bisa mendapati angka IDR 872 jutaan! Ups, jangan shock dulu. Kita tahu dari ilustrasi di atas bahwa besaran kenaikan adalah lebih dari 10%. Jikalau kita gunakan asumsi kenaikan harga biaya pendidikan naik 15% per tahun, didapatilah angka bombastis hingga hampir IDR 2M! Udah pusing sekarang? Itu baru kuliah lho, belum SMA, SMP, SD, atau TK bahkan ๐Ÿ˜€

Bagaimana dengan “solusi” reksadana saham kita? Dengan asumsi pukul rata mendapatkan pertambahan dana 20% per tahun, tahukah Anda bahwa 18 tahun lagi jika Anda rutin memasukkan IDR 1.5 juta tiap bulan akan memperoleh lebih dari IDR 3M? InsyaAllah dana tersebut cukup jika digunakan untuk total biaya pendidikan anak secara total hingga lulus S1. Tapi perlu diingat, itu cuma untuk satu anak. Kalau dua anak ya harus punya dua rekening. Tiga anak? Tiga rekening. Dan itu HARUS tidak mengganggu investasi hari tua kita.

Sekali lagi, itungan ini bukan itungan saklek. Anda bisa mengurangi komponen biaya hidup jika merencanakan anak tetap tinggal dengan orang tua. Setidaknya Anda tahu bahwa biaya pendidikan itu tidak murah dan kita tentunya ingin pendidikan terbaik bagi putra-putri kita kelak.

Udah pusing menghitung perencanaan finansial keluarga? ๐Ÿ˜€

[thumbnail image]

Ketika Ditinggal Dinas Istri..

.. dan juga seisi keluarga di rumah sebelah. Well, not literally karena masih ada mbak-mbak asisten, tapi ya benar-benar hari ini cuma saya yang ada di rumah. Kebetulan keluarga Anggi ikut Bapak yang juga berdinas ke Bandung. Jadilah saya menunggui rumah yang setahun kemarin hanya saya datangi setiap hari, karena istri mendadak dinas.

Saya sendiri sebenarnya cukup terbiasa tinggal sendiri sebelumnya. Dua tahun pertama di Jakarta saya tinggal sendiri di rumah keluarga di Rawamangun. Tiga tahun berikutnya saya tinggal sendiri di kos di pinggiran Depok. Tapi tentunya yang sekarang rasanya beda. Karena udah biasa ada teman tidur, saat ini jadi terasa sepi. Untungnya saya gak ikutan dinas ke luar kota, karena memang belum ada kebutuhan dari kantor.

Lucu juga ya. Empat bulan yang lalu, sebelum menikah saya selalu terbiasa sendiri. Tapi sekarang rasanya ada yang hilang jika bangun pagi tidak ada pasangan di sisi. Tidak ada yang menyiapkan bekal. Tidak ada yang dipamitin kalau ke kantor. Ouw well, untung gak lama-lama tidur sendirinya. Hari ini insyaAllah bebikuwh udah balik dari Bandung dan kayaknya bakal stay selama wiken ini. Welcome home, Baby! There’s no place as nice as the place called home! ๐Ÿ˜‰